Sabtu, 05 April 2014

HAK ASASI MANUSIA

Penghormatan HAM dan Martabat Kemanusiaan
Hak asasi manusia terkait dengan martabat manusia. Tentang manusia bermartabat, baik dan mulia pada umumnya ditanggapi dari dua pendekata dan orientasi (pandangan). Pertama, pendekatan dan orientasi status, yang menempatkan martabat manusia sebagai hadiah atau pemberian atau takdir Tuhan. Prinsipnya, bahwa Tuhan telah menciptakan manusia dalam sebaik-baik makhluk. Manusia dengan akan dan pikirannya telah menjadi makhuk yang paling sempurna diantara makhluk-mkhluk lainnya. Dengan begitu, manusia mau tidak mau (given) menyandang martabat yang tinggi.
Kedua, pendekatan dan orientasi prestasi. Pandekatan dan pandangan prestasi (achievement oriented), menyatakan bahwa martabat manusia tidak given tetapi harus dicapai setelah manusia berjuang dan berusaha meperoleh martabat mulai dengan jerih payah dan kegigihan. Dalam pandangan prestasi, martabat manusia tidak dapat dipertahankan apabila manusia berkinerja (mencapai prestasi) yang rendah atau buruk. Memang ada pengakuan bahwa ketika lahir manusia memiliki derajat yang mulia, tetapi sepanjang hidupnya martabat itu akan dipertaruhkan menurut amal perbuatannya.
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, bagaimanakah kaitannya dengan persoalan hak asasi manusia? Hak asasi manusia itu given atau prestasi, atau kedua-duanya? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, perhatikan definisi hak asasi manusia menurut Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang ada di bawah ini.
Menurut definisi tersebut, perlu dipahami bahwa hak asasi  manusia tidaklah bersumber dari penguasa, negara, atau hukum, melainkan semata-mata bersumber dari Tuhan. Dengan demikian, hak asasi manusia tidak dapat dikurangi (non derogable right). Tindakan yang diperlukan dari negara dan hukum adalah suatu pengakuan dan jaminan perlindungan terhadap hak asasi manusia tersebut.
Realitas kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara akhir-kahir ini menunjukkan, betapa pentingnya setiap warganegara untuk ikut terlibat dalam perikehidupan bersama yang lebih intensif. Sebagaimana kita ketahui saat ini kita telah berada dalam perikehidupan global yang penuh dengan tantangan dan persaingan. Tantangan dan persaingan yang terjadi tidak lagi bersumber dari dalam negeri, tetapi juga berasal dari dunia internasional di luar negeri. Berkaitan dengan permasalahan hak asasi manusia, maka bangsa Indonesia tidak dapat hanya berpegang kepada nilai-nilai luhur bangsa sendiri, tetapi juga harus merujuk nilai-nilai universal, yang bersumber dari kesepakatan-kesepakatan (konvensi) internasional.
Pada era globalisasi dan pasar bebas dunia, dimana bangsa Indonesia ikut terlibat di dalamnya, maka tidak ada pilihan lain bahwa warga negara bersama pemerintah harus peka dan berkomitmen tinggi terhadap masalah-masalah yang terkait dengan hak asasi manusia. Masalah hak asasi manusia tersebut menyangkut seluruh aspek kehidupan bangsa, baik di bidang ekonomi, sosial, budaya, politik, serta pertahanan dan keamanan.
Sebagai bahan analisis, coba simak gambar berikut ini! Selanjutnya baca dengan cermat deskripsi tentang teori Erich From tentang “Syndrome of Decay” atau simdom pembusukan, yang disadari atau tidak sedang melanda perikehidupan bangsa kita belakangan ini.
Peristiwa yang ditampung dalam gambar ini membawa pesan kepada masyarakat yang sangat mendasar dan menyentuh seluruh aspek perikehidupan bermasyarakat. Sepintas memang terlihat adanya pesan perdamaian antarumat beragama, tetapi sebenarnya persoalan konflik antarumat beragama tidak berdiri
sendiri, terlepas dari aspek kehidupan lainnya.  Kita semua paham, bahwa selama raturan, bahkan ribuan tahun, masyarakat Indonesia dikenal sangat toleran dalam kehidupan beragama. Mengapa tiba-tiba kondisi berubah seratus delapan puluh derajat?
Erich From dalam teori Syndrome of Decay, menyatakan bahwa perikehidupan bermasyarakat akan dihantui oleh munculnya gejala pembusukan. Sekurang-kurangnya ada dua sindrom pembusukan yang dapat diidentifikasi. Pertama, masyarakat mengalami kondisi mental-spiritual yang sangat rapuh, baik ditingkat elit maupun rakyat bawah yang sering disebut sebagai masyarakat akar rumput (grassroots). Perilaku amoral, asusila, dan gejala-gejala buruk lainnya sudah menjadi hal yang dianggap biasa.  Pada titik tertentu bahkan telah dipersepsi sebagai budaya dan kebiasaan yang melekat pada masyarakat. Misalnya, perilaku korupsi, kolusi, dan nepotisme telah dilakukan secara terbuka oleh aparatur pemerintah dari pusat sampai tingkat paling bawah. Akibatnya tidak ada lagi sikap percaya kepada pemimpin, dan lama-kelamaan berkembang menjadi saling curiga diantara sesama warga dan kelompok.
Kedua, hilangnya perasaan akan nilai-nilai kemanusiaan, seperti memudarnya sikap ramah, toleran, rukun, dan suka menolong, dan tiba-tiba berubah menjadi sikap beringas, ganas, dan barbarian (suka bertikai). Misalnya, karena persoalan sepele, semisal perkelaian antarpemuda biasa didramatisir sebagai pertikaian atarras, antaretnis, dan antaragama. Akibatnya, masyarakat begitu mudah tersulut perilaku merusak, menghancurkan, bahkan mengalirkan darah sesamanya.
Alternatif penyembuhan dari sindrom pembusukan tersebut tidak ada lain, kecuali melalui pembalikan dari itu semua, yakni sindrom pertumbuhan (syndrome of growth). Fromm mendefinisikan sindrom pertumbuhan sebagai cinta kehidupan, cinta antarsesama, dan cinta akan kemerdekaan. 
Gejala-gejala seperti yang dideskripsikan di atas merupakan fakta kehidupan yang sarat dengan isu-isu hak asasi manusia. Gejala-gejala tersebut tidak hanya terjadi di Indonesia, melainkan dapat terjadi di mana saja di seluruh masyarakat manusia di dunia ini. Pengalaman kehidupan menunjukkan hal itu dengan berbagai tonggak sejarah perjuangan dan pengakuan hak asasi manusia. 
Adapun tonggak-tonggak sejarah hak asasi manusia dimaksud adalah:
a.    Piagam Magna Charta (1215). Piagam Magna Charta lahir pada tanggal 15 Juni 1215. Piagam ini dicetuskan oleh para bangsawan Inggris. Piagam ini memuat pernyataan bahwa:
1)        kekuasaan raja harus dibatasi, dan
2)        hak azasi manusia lebih penting daripada kedaulatan atau kekuasaan Raja.
b.    Habeas Corpus Act (1679). Habeas Corpus Act  adalah suatu dokumen yang memuat pernyataan tentang perlindungan terhadap kebebasan yang dimiliki oleh setiap warga negara. Undang-undang ini menyatakan bahwa: “Sebuah undang-undang harus melindungi kebebasan warga negara.”  Undang-undang yang dibuat di Inggris ini bertujuan untuk mencegah pemenjaraan yang sewenang-wenang. Setiap orang yang ditahan dalam waktu tiga hari, maka harus segera dihadapkan kepada seorang  hakim serta diberitahukan kepadanya atas tuduhan apa ia ditahan.
c.     Bill of Rights (1689). Bill of Right adalah suatu piagam yang berisi pernyataan bahwa Raja William di Inggris harus mengakui hak-hak parlemen, serta kebebasan berbicara atau mengeluarkan pendapat.
d.    Declaration of Independence (1776). Declaration of Independence merupakan Piagam Hak-hak Azasi Manusia karena memuat pernyataan: “bahwa sesungguhnya semua bangsa diciptakan sama sederajat oleh Maha Penciptannya. Bahwa semua manusia dianugerahi oleh Penciptanya hak hidup, kemerdekaan dan kebebasan untuk menikmati kebahagiaan”.
e.     Declaration des Droit de L’hommes et du Citoyen (1789). Majelis Konstituante di Perancis mengeluarkan Pernyataan Hak-hak Manusia dan Warga Negara.  Di dalamnya disebutkan bahwa”manusia lahir bebas dengan hak-hak yang sama”, dan sesungguhnya tujuan dari segala persekutuan politik ialah memelihara hak-hak bawaan kodrat manusia yang tidak dapat dialihkan.
f.     The Four Freedoms. The Four Freedoms adalah empat macam kebebasan yang diajukan Presiden AS Franklin D. Rosevelt  pada tahun 1941. Empat Kebebasan tersebut  yaitu:
2)      Kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat (freedom of speech and expression)
3)      Kebebasan beragama (freedom of religion)
4)      Kebebasan dari rasa takut (freedom from fear)
5)      Kebebasan dari kekurangan dan kelaparan (freedom from want)
a.    Universal Declaration Of Human Rights/UDHR (PBB 1948). Pernyataan (deklarasi) Sejagad tentang Hak Azsasi Manusia terjadi pada tanggal 10 Desember 1948. Alinea pertama Mukadimah Pernyataan Sedunia tentang Hak-hak Azasi Manusia tersebut menyatakan: ”Bahwa sesungguhnya hak-hak kodrati yang diperoleh setiap manusia berkat pemberian Tuhan Seru Sekalian Alam, tidak dapat dipisahkan dari hakikatnya, dan karena itu setiap manusia berhak akan kehidupan yang layak, kebebasan, keselamatan, dan kebahagiaan pribadinya.”
Hak asasi manusia berkembang menurut tingkat kemajuan kebudayaan. Dewasa ini hak asasi manusia meliputi berbagai macam yaitu :
       a). Menurut bidangnya :
1.    Hak asasi pribadi (personal rights) meliputi hak kemerdekaan memeluk agama, beribadah menurut agama masing-masing, mengemukaan pendapat, dan kebebasan berorganisasi atau berpartai.
2.    Hak asasi ekonomi (property rights) meliputi hak memiliki sesuatu, hak membeli dan menjual sesuatu, hak mengadakan suatu perjanjian atau kontrak, dan hak memilih pekerjaan
3.    Hak asasi mendapatkan pengayoman dan perlakukan yang sama dalam keadilan dan pemerintahan, atau dapat disebut sebagai hak persamaan hukum (rihts of legalequality).
4.    Hak asasi politik (political rihts) meliputi hak untuk diakui sebagai warga negara yang sederajat,  oleh karena itu setiap warga negara wajar mendapat hak itu serta dalam mengolah dan menata serta menentukan warna politik dan kemajuan negara
5.    Hak asasi sosial dan kebudayaan (social and culture rights) meliputi hak kebebasan mendapatkan pengajaran atau hak pendidikan serta hak pengembangan kebudayaan.
6.    Hak asasi perlakuan yang sama dalam tata peradilan dan perlindungan hukum (procedural rights) meliputi hak perlakukan yang wajar dan adil dalam penggeledahan (rasia, penangkapan, peradilan dan pembelaan hukum).
b). Menurut perumusan istilah hak asasi manusia dalam UUD 1945
1. Hak asasi manusia sebagai hak segala bangsa ( Pembukaan UUD 1945
    Alenia 1 ).
2. Hak asasi manusia sebagai hak warga negara ( UUD 1945 pasal 27, 30,
    31 ).
3. Hak asasi sebagai hak setiap orang ( UUD 1945 Amandemen, pasal 28A
    - 28J ).
4. Hak asasi tiap - tiap penduduk ( UUD 1945 pasal 29 ayat 2 ).
Semua manusia tanpa terkecuali mempunyai hak-hak tersebut di atas, oleh sebab itu di mana pun dan kapan pun pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia harus ada.


UPAYA PENEGAKAN HAM DI INDONESIA
1.      Instrumen Hukum dan Hambatan Penegakan HAM di Indonesia
Semenjak berakhirnya perang dingin, maka isu global beralih dari komunisme dan pertentangan antara blok barat dan blok timur ke masalah baru yaitu masalah hak asasi manusia, masalah lingkungan, dan masalah liberalisme perdagangan. Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai bagian dari masyarakat dunia tidak terlepas dari isu hak asasi manusia yang melanda hampir semua negara di dunia.
Isu-isu mengenai hak asasi manusia dewasa ini bukan lagi berkisar seputar masalah pengakuan dan jaminan perlindungan terhadap hak asasi manusia, karena hampir di semua negara, baik dalam konstitusinya maupun dalam peraturan peundang-undangan, telah diberikan pengakuan dan jaminan terhadap ahak asasi manusia, disamping telah adanya bebrapa konvensi PBB tentang HAM. Masalahnya sekarang tertuju pada isu-isu penegakan dan pemajuan hak asasi manusia itu.
Pengakuan dan jaminan perlindungan hak asasi manusia di Inodonesia telah cukup banyak diberikan, baik yang ditemukan dalam nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, serta peraturan perundang-undagan lainnya. Untuk jelasnya dapat kita rinci sebagai berikut.
1. Pancasila. Pengakuan dan jaminan perlindungan HAM tercermin dalam nilai-nilai Pancasila, misalkan nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan sosial.
2. Undang-Undang Dasar 1945. Selain sebagai landasan konstitusional UUD 1945 setelah amandemen  pada Bab XA memuat secara khusus dalam satu bab tersendiri tentang HAM yang diuraikan dalam 10 pasal mulai pasal 28A samapai dengan pasal 28J.
3.  Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia.
4. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
5. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
6. Peraturan perundang-undangan lainnya, yaitu KUH Pidana, UU Pemilu, UU Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, UU tentang Partai Politik, UU tentang Pers, UU Perlindungan Anak, UU Perburuhan, dan lain-lain.
Disamping itu, negara kita telah meratifikasi beberapa konvensi PBB tentang HAM kurang lebih 17 konvensi, diantaranya yaitu:
1.    International Convention on The Elimation of All Form Racial Discrimination (1965). konvensi Penghapusan Segala bentuk Diskriminasi Rasial
2.    International Convention on The Suppression and Punishment of The Crime of Aprtheid (1973). Konvensi tentang apartheid
3.    ILO Convention Concering Equal Renumeration for Men and Women Workers for work of Equal Value (1951). Konvensi tentang persamaan upah pekerja perempuan dan laki-laki.
4.    Convention on The Political Right of Women (1952). Konvensi mengenai Hak Politik perempuan
Kita juga telah mendeklarasikan Rencana Aksi Nasional Hak-hak Asasi Manusia Indonesia 1998-2003 yang diantara programnya secara bertahap akan diratifikasi beberapa konvensi PBB tentang HAM. Dengan rencana aksi tersebut sampai sekarang telah diratifikasi beberapa konvensi, yaitu: (1) Konvensi menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Meendahkan; dan (2) Konvensi tentang Hak-hak Ekonomi, Politik dan Budaya.
Kita juga telah mempunyai Komite Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), yaitu suatu badan independen yang bertugas memantau pelaksanaan hak asasi manusia di Indonesia. Semua itu bertujuan untuk pemajuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia Indonesia.
Walaupun demikian dimana-mana sekarang masih saja terjadi pelanggaran terhadap hak asasi manusia, seperti di Aceh, Maluku, Sampit, Poso, kasus-kasus perburuhan, kemiskinan, kebodohan, meningkatnya angka korban kriminalitas dan lain-lain. Sehingga permasalahan utamanya adalah penegakan hak asasi manusia itu sendiri. Penegakan hak asasi manusia merupakan upaya secara sadar untuk melindungi dan mewujudkan hak-hak asasi manusia dan memberikan tindakan atau sanksi yang tegas kepada semua pihak yang melakukan pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia tanpa terkecuali.
Pelanggaran terhadap hak asasi manusia tidak selalu merupakan dominasi negara terhadap rakyatnya, tetapi pelanggaran hak asasi manusia juga dapat dilakukan oleh orang per orang atau individu terhadap orang atau individu yang lain atau bahkan negara kepada negara yang lain. Demikian pula sebaliknya penegakan hak asasi manusia sebenarnya bukan hanya merupakan kewajiban negara akan tetapi merupakan kewajiban setiap individu manusia dan semua negara di dunia.
Pelanggaran dan pemerkosaan terhadap hak-hak asasi manusia merupakan kenyataan negatif yang akan selalu diiringi dengan upaya untuk mengatasinya secara positif. Upaya penegakan hak asasi manusia di Indonesia bukan tidak pernah dilakukan bahkan sudah terlihat upaya-upaya serius untuk tegaknya hak asasi manusia di Indonesia, dengan atau tanpa tekanan dari dunia internasional. Akan tetapi masih banyak hambatan dan dan tantangan menuju tegaknya HAM di Indonesia. Hambatan yang sekaligus merupakan tantangan dalam penegakan hak asasi manusia  di Indonesia diantaranya adalah sebagai berikut:
  1. Hak asasi adalah sebuah idealisme yang sudah bersifat mondial dan universal. Akan tetapi HAM juga setidak-tidaknya di Indonesia masih barang yang dapat dikatakan relatif baru yang masih terasa asing dalam kebudayaan kita. Kenyataan masih membuktikan pengetahuan tentang HAM hanya dimiiliki dan mungkin diamalkan oleh sebagian kecil dari kalangan kita, bahkan sebagian besar masyarakat masyarakat hanya tahu sedikit atau tidak tahu sama sekali tentang hak-hak fundamental yang dimilikinya itu. Sementara pertentangan kehidupan sosial agama dan etnis, permusuhan antar suku, perbedaan kehidupan sosial, ekonomi, politis dan ketidakpuasan lainnya yang bersifat umum tidak jarang mengundang meletupnya amarah sosial di kalangan masyarakat. Tragisnya, ditengah situasi seperti itu justru hukum dan HAM menjadi terinjak-injak kembali. Sehingga tantangan ke depan adalah bagaimana mensosialisikan HAM dan segala hal yang tekait ke seluruh lapisan masyarakat indonesia dimanapun mereka berada. Pendidikan tentang HAM harus dilakukan sejak dini dalam masyarakat.
  2. Kondisi ketimpangan dan ketidakadilan dalam berbagai bidang. Sampai kapanpun HAM tidak akan dapat ditegakkan dalam kondisi masyarakat yang timpang dan tidak adil. Kondisi ekonomi yang sangat timpang, ada yang miskin sekali dan ada yang sangat kaya apalagi ketimpangan tersebut tercipta karena ketidakadilan, maka penegakan hak asasi manusia hanya akanmenjadi slogan saja. Kondisi dimana ada ketimpangan sosial ada yang sangat maju sekali ada yang masih sangat tertinggal. Sehingga tantangannya adalah bagaimana membuat situasi masyarakat yang sangat kondusif untuk penegakan HAM dengan menghilangkan ketimpangan dan ketidakadilan yang terjadi di masyarakat.
  3. Kondisi negara kita yang secara umum masih termasuk negara-negara miskin yang terlilit utang yang besar dengan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme yang masih dominan. Kondisi seperti ini akan menghambat upaya penegakan hak asasi manusia
  4. Masih kurangnya kesadaran aparat penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya dengan tetap berpegang pada prinsip-prinsip penegakan HAM. Hal ini terjadi dikarenakan beberapa faktor diantaranya karena kurangnya pengetahuan aparat penegak hukum itu sendiri tentang HAM atau HAM dipandang memperlambat atau mempersulit  aparat penegak hukum dalam menjalankan tugas. Sehingga tantangan ke depan adalah bagaimana menciptakan aparat-aparat penegak hukum yang tetap mau menghormati HAM dalam menjalankan tugasnya dengan memperbaiki sistem rekruitmen dan sistem pendidikannya.
  5. Masih terlihatnya dominasi kekuasaan terhadap hukum. Tegaknya hukum dapat dikatakan juga tegaknya pula HAM. Kalau kekuasaan masih mempengaruhi hukum, maka yang terjadi adalah tidak berdayanya hukum pada saat berhadapan dengan orang atau kelompok-kelompok yang punya kekuasaan, sehingga hukum akan sulit ditegakkan untuk kalangan mereka. Demikia pula pada saat kekuasaan melakukan pelanggaran-pelanggaran terhadap HAM maka akan sangat sulit untuk mengambil tindakan yang tegas dan adil. Tantangan ke depan adalah bagaimana membuat lembaga hukum yang independen (bebas) dari pengaruh kekuasaan dengan tatanan masyarakat yang demokratis.
  6. Masih lemahnya posisi lembaga-lembaga yang khusus dibentuk dalam penegakan HAM di Indonesia, seperti Komisi Nasional Hak Asai Manusia, dan  Pengadilan Hak Asasi Manusia Indonesia.  Sehingga lembaga-lembaga ini harus lebih diberdayakan dengan memberikan dukungan dan kewenangan yang lebih baik dalam penegakan HAM
  7. Masih lemah dan kurangnya peran serta masyarakat dalam pengawasan terhadap penegakan HAM baik secara perorangan, kelompok atau organisasi.
Besarnya jumlah penduduk dan kondisi geografis Indonesia juga masih merupakan hambatan dan tantangan dalam penegakan HAM. Jumlah penduduk yang besar menuntut pula investasi dan modal yang sangat besar dalam pengakan hak asasi manusia dalam paradigma pemerataan. Luasnya wilayah dan kondisi kepulauan yang  ada menuntut pula investasi dan energi yang sangat besar untuk penegakan HAM. Contoh Hak akan rasa aman untuk kondisi kependudukan dan wilayah Indonesia menuntut Kepolisian yang seimbang dengan jumlah penduduk dan merata di seluruh wilayah. Pemberantasan Kemiskinan dan keterbelakangan masih menjadi pekerjaan yang tidak kunjung selesai karena kondisi kependudukan dan geografis.

1.      Proses Penegakan HAM di Indonesia
Penegakan HAM di Indonesia sebagai upaya sadar untuk melindungi dan mewujudkan HAM dan memberikan tindakan serta sanksi yang tegas kepada siapapun yang melakukan pelanggaran HAM adalah sebuah proses yang dilakukan tiada henti. Upaya tersebut
dilakukan dengan menambah dan melengkapi instrumen hukum yang mengatur tentang HAM dan instrumen lembaga tentang HAM. Diikuti dengan keinginan baik dari pemerintah yang berkuasa.
Dengan dibentuknya Komnas HAM, keluarnya Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang HAM, kemudian UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, dan UUD 1945 setelah di Amandemen, UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan ratifikasi konvensi PBB tentang HAM menunjukkan bahwa Indonesia serius dalam upaya penegakan HAM.
a.      Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM)
Komnas HAM dibentuk melalui Keppres Nomor 5 Tahun 1993, kemudian dikukuhkan lagi melalui UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM hal ini dilakukan untuk mengukuhkan independensi Komnas HAM. Tujuan dibentuknya Komnas HAM adalah untuk:
1)      mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan HAM sesuai dengan Pancasila, UUD 1945 dan Piagam PBB, serta Deklarasi Universal HAM, dan
2)      meningkatkan perlindungan dan penegakan HAM guna berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan kemampuannya bepartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan. (Pasal 75 UU No. 39 Tahun 1999)
Untuk mencapai tujuan tersebut Komnas HAM melaksanakan fungsi Pengkajian, Penelitian, penyuluhan, pemantauan dan fungsi mediasi tentang HAM. Komnas HAM dibentuk di Jakarta dan dapat mendirikan perwakilan di daerah, yang diprioritaskan di daerah-daerah yang rawan pelanggaran HAM.
Menurut ketentuan pasal 90 UU no. 39 Tahun 1999 setiap orang atau sekelompok orang berhak mengajukan laporan dan pengaduan baik secara lisan maupun tertulis kepada Komnas HAM, apabila mempunyai alasan yang kuat bahwa Hak asasinya telah dilanggar. Apabila pengaduan dilakukan oleh pihak lain maka pengaduan harus disertai dengan persetujuan dari pihak yang dilanggar hak asasinya, kecuali untuk pelanggaran HAM tertentu berdasarkan pertimbangan Komnas HAM.
Selanjutnya menurut ketentuan pasal 94 UU No. 39 Tahun 1999, pihak pengadu, korban, saksi atau pihak lainnya yang terkait dengan pelanggaran HAM wajib memenuhi permintaan Komnas HAM. Apabila pihak-pihak tersebut tidak memenuhi pemanggilan atau menolak memberi keterangan, maka Komnas HAM dapat meminta ketua poengadilan yang bersangkutan melakukan pemanggilan secara paksa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b.      Pengadilan Hak Asasi Manusia
Menurut ketentuan UU No. 26 Tahun 2000 Pengadilan Hak Asasi Manusia merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan Peradilan Umum dan berkedudukan di daerah kabupaten atau kota. Pengadilan HAM bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus perkara “pelanggaran HAM yang berat”. Pelanggaran HAM yang berat meliputi kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Kejahatan genosida adalah setiap  perbuatan yang dilakukan dengan maksud menghancurkan atau memusnhakan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama dengan cara:
1)      membunuh anggota kelompok,
2)      mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok,
3)      menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kenusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya,
4)      memaksakan tindakan-tindkan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok
5)      memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain. (pasal 8 UU No. 26 Tahun 2000)
Sedangkan yang dimaksud kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa hal-hal sebagai berikut:
1.         Pembunuhan
2.         Pemusnahan
3.         Perbudakan
4.         Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa
5.         Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional.
6.         Penyiksaan
7.         Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk kekerasan seksual lain yang setara.
8.         Penganiyaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin, atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional,
9.         Penghilangan orang secara paksa
10.     Kejahatan apartheid. (pasal 9 UU No. 26 Tahun 2000).
Penenutuan kompetensi Pengadilan HAM ini sangat penting guna mencegah terjadinya tumpang tindih kewenangan antara Pengadilan HAM dan Pengadilan Pidana. Pengadilan HAM Indinesia mulai di gelar pertama kalinya pada tanggal 14 Maret 2002 yang mengadili pelanggaran HAM berat yang terjadi di Timor Timur Pasca Jajak Pendapat.
c.       Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc
Berhubung Pengadilan HAM tidak berwenang memeriksa dan memutuskan perkara pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum UU No. 26 Tahun 2000 diundangkan (tidak menganut asas retroaktif), maka dapat dibentuk Pengadilan HAM Ad Hoc atas usul Dewan Perwakilan Rakyat berdasarkan peristiwa tertentu dengan keputusan Presiden. DPR mengusulkan pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc berdasarkan pada dugaan telah terjadi pelanggaran HAM yang berat yang dibatasi oleh locus dan tempus delicti (tempat dan waktu kejadian) tertentu, yang terjadi sebelum diundangkan UU No. 16 Tahun 2000.
 Dimulainya peradilan HAM ad hoc merupakan salah satu lembar sejarah baru dalam dunia peradilan di Indonesia, yang tidak saja mendapat perhatian di tanah air bahkan mendapat perhatian dunia internasional. Dengan Pengadilan HAM ad hoc dimungkinkan kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat dimasa orde baru, seperti tragedi Tanjung Priuk, Tragedi Talangsari di Lampung, tragedi Timika di Irian, tragedi Jajak  Pendapat Di Timor Timur, dan lain-lain dapat diproses. 
d.      Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
UU No. 26 Tahun 2000 memberikan alternatif penyelesaian pelanggaran HAM yang berat, di luar Pengadilan HAM, yaitu melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, yang dibentuk dengan undang-undang. Melalui komisi ini diharapkan perkara-perkara pelanggaran HAM yang berat yang terjadi di masa lalu dapat segera dituntaskan, dengan penyelesaian yang dpat diterima oleh semua pihak.
Dengan adanya pengadilan HAM dan Komisi kebenaran dan Rekonsiliasi tersebut diharpakan upaya-upaya penegakan HAM di Indonesia dapat berjalan dengan baik.
Rangkaian acara pemeiksaan dan pemutusan perkara pelanggaran HAM yang berat, menurut UU No. 26 Tahun 2000 terdiri atas beberapa tahap, yaitu:
  1. Tahap Penyelidikan, yang berwenang melakukan penyelidikan adalah Komnas HAM. Setelah melakukan penyelidikan, apabila Komnas HAM berpendapat bahwa terdapat bukti permulaan yang cukup, telah terjadi peristiwa pelanggaran HAM yang berat, maka kesimpulan hasil penyelidikan disampaikan kepada penyidik.
  2. Tahap Penyidikan, kewenangan penyidikan pelanggaran HAM berat berada di tanagan jaksa agung. Jaksa Agung dapat mengangkat “penyidik ad hoc” yang terdiri atas unsur pemerintah dan masyarakat. Penyidik berwenang melakukan penangkapan dan penahanan untuk kepentingan penyidikan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan pelanggaran HAM yang berat berdasarkan bukti permulaan yang cukup
  3. Tahap Penuntutan, Penuntutan dilakukan oleh Jaksa Agung. Dalam pelaksanaan tugasnya Jaksa Agung dapat mengangkat “penuntut umum ad hoc”. Penuntutan wajib dilakukan oleh penuntut umum paling lambat 70 hari terhitung sejak hasil penyidikan diterima.
  4. Tahap pemeriksaan di muka sidang, perkara pelanggaran HAM yang berat, diperiksa dan diputuskan oelh Pengadilan HAM dalam waktu paling lama 180 hari terhitung sejak perkara dilimpahkan. Apabila perkara pelanggaran HAM yang berat dimohonkan banding ke pengadilan tinggi HAM, maka perkara tersebut diperiksa dan diputus dalam waktu paling lama 90 hari. Apabila dimohonkan Kasasi ke Mahkamah Agung, pekara tersebut harus sudah diperiksa dan diputus dalam waktu paling lama 90 hari.
Apabila terjadi suatu pelanggaran HAM yang berat yang berwenang menerima laporan dan pengaduan adalah Komnas HAM.
Print Friendly and PDF

0 komentar:

Posting Komentar