Sabtu, 05 April 2014

MAKALAH CIVIC EDUCATION GOOD & CLEAN GOVERNANCE

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
            Istilah clean and good governance atau tata pemerintah yang bersih dan baik merupakan wacana yang mengiringi gerakan reformasi. Wacana clean and good governance sering kali dikaitkan dengan tuntutan atau pengelolaan pemerintahan yang professional, akuntabel dan bebas korupsi, kolusi dan nepotisme.
            Sebuah kritik terhadap pengelolaan pemerintahan orde baru yang sarat KKN yang berakhir krisis ekonomi yang berkepanjangan. Perdebatan clean and good governance merupakan bagian penting dari wacana umum demokrasi, HAM dan masyarakat madani yang di usung gerakan reformasi.
1.2. RUMUSAN MASALAH
            Rumusan masalah materi dalam makalah ini diarahkan pada pengertian clean and good governance, prinsip-prinsip clean and good governance, definisi korupsi menurut komisi pemberantasan korupsi, asal usul korupsi dinegara berkembang, dampak dari korupsi, hubungan antara clean and good governance dengan kinerja birokrasi pelayanan public, supaya Pemerintah lebih bisa Akuntanbel.
1.3. TUJUAN DAN MANFAAT
            Tujuan makalah ini untuk memahami pentingnya clean and good governance yang mewujudkan transparasi disegala bidang. Hal ini untuk mengikis budaya korupsi yang mengakibatkan terjadinya kebocoran anggaran, penggunaan negara untuk kepentingan individu atau golongan, bukan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. PENGERTIAN GOOD AND CLEAN GOVERNANCE
Istilah good and clean governance  merupakan wacana baru dalam kosa kata ilmu politik. Ia muncul pada awal 1990-an. Secara umum pengertian good and clean governance adalah segala hal yang terkait dengan tindakan yang bersifat mengarah. Mengendalikan atau mempengaruhi urusan public untuk mewujudkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan secara khusus pengertian Good and clean governance adalah pengejawantahan nilai-nilai luhur dalam mengarahkan warga Negara (citizens) kepada masyarakat dan pemerintah yang berkeadapan melalui wujud pemerintah yang suci dan damai. Dalam kontek Indonesia substansi good and clean governance  di padankan dengan pemerintah yang baik, bersih dan berwibawa. Sedangkan dalam definisi lain, pengertian good and clean governance adalah pelaksanaan politik, ekonomi dan administrasi dalam mengelola masalah  bangsa. Pelaksanaan tersebut bisa dikatakan baik jika dilakukan dengan efektif dan efisien, responsive terhadap kebutuhan rakyat dalam suasana demokratis, akuntabel dan trasparan (Said, 2010).
Arti good dalam good gaverance mengandung dua pengertian (Widodo, 2000 dalam Rakhmat 2009). Pertama, nilai-nilai yang menjunjung tinggi kehendak rakyat dan nilai-nilai yang dapat meningkatkan kemapuan rakyat dalam pencapaian kemandirian, pembangunan berkelanjutan dan keadilan social. Kedua aspek-aspek fungsional dari pemerintahan yang efektif dan efisien dalam melakukan upaya pencapaian tujuan nasional. Orientasi pertama mengacu pada demokratisasi dalam kehidupan bernegara dengan elemen konstituennya seperti legitimacy, accountability, autonomy and devolustion of power. Orientasi kedua tergantung pada bagaimana pemerintahan mempunyai kompetensi serta struktur dan mekanisme politik dan administrasi berfungsi secara efisien dan efektif.
2.2. PRINSIP-PRINSIP GOOD AND CLEAN GOVERNANCE
Menurut Kumorotomo (2010), Untuk merealisasikan pemerintahan yang professional dan akutanbel yang berdasarkan pada prinsip-prinsip good and clean governance, Lembaga Administrasi Negara merumuskan 9 aspek fundamental yaitu :
  • Ÿ         Partisipasi
  • Ÿ         Penegakkan hukum
  • Ÿ         Transparansi
  • Ÿ         Rensponsif
  • Ÿ         Orientasi kesepakatan
  • Ÿ         Keadilan
  • Ÿ         Efektifitas dan efesiensi
  • Ÿ         Akutanbilitas
  • Ÿ         Visi strategis

a. Partisipasi
Semua warga negara mempunyai suara dalam pengambilan keputusan baik secara langsung maupun melalui lembaga perwakilan yang sah. Patisipasi tersebut di bangun berdasarkan prinsip demokrasi yakni kebebasan berkumpul dan mengungkapkan pendapat secara konstruktif. Dalam Undang-Undang Dasar 1945, disebutkan bahwa warga negara dijamin kebebasannya berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat, menyatakan pikiran melewati tulisan maupun lisan (Ramadhan, 1989 dalam elbaruqy, 2010). Setiap orang berhak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi tentang dugaan korupsi, serta menyampaikan saran dan pendapat maupun pengaduan kepada penegak hukum (polisi, jaksa, hakim, advokat). Dalam pasal 1,ayat 1, PP Nomor 71 Tahun 2000 di sebutkan peran serta masyarakat adalah peran aktif perorangan, organisasi masyarakat atau lembaga swadaya masyarakat dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Artinya bahkan setiap orang, organisasi masyarakat, atau lembaga swadaya masyarakat berhak mencari, memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi serta menyampaikan saran dan pendapat kepada penegak hukum dan atau komisi yang menangani perkara tindak pidana korupsi, seperti juga tercantum dalam pasal 2 ayat 1 peraturan pemerintah tersebut (Pengurus Pergerakan Indonesia, 2007 dalam elbaruqy, 2010).
b. Penegakan hukum
Pelaksanaan kenegaraan dan pemerintah harus di tata oleh sebuah aturan hukum yang kuat dan memiliki kepastian hukum. Maka hal tersebut harus diimbangi dengan komitmen penegakan hukum dengan karakter-karakter antara lain:
  • Ÿ    Supremasi hukum

Supremasi hukum akan menjamin tidak terjadinya tindakan penguasa atas dasar diskresi (tindakan sepihak berdasarkan kekuasaan yang dimilikinya).
  •  Kepastian hukum

Bahwa setiap kehidupan berbangsa dan bernegara diatur oleh hukum yang jelas dan pasti, tidak duplikatif dan tidak pertentangan antara satu dan lainnya.
  •  Hukum yang reponsif

 Aturan-aturan hukum itu disusun berdasrkan aspirasi masyarakat dan mampu mengakomodir berbagai kebutuhan publik.
  • Penegakan hukum yang konsisten dan  non diskrimatis

Bahwa penegakan hukum berlaku untuk semua islam.
  •  Independensi peradilan

Bahwa peradilan tidak dipengaruhi oleh penguasa.
c. Trasparansi
Hal ini mutlak dilakukan untuk menghilangkan budaya korupsi dikalangan pelaksana pemerintah. Terdapat 7 macam korupsi yang biasa dilakukan oleh kalangan birokrasi di Indonesia, yaitu:
Ÿ         Transactive corruption
Yaitu korupsi yang dilakukan saat transaksi dan kedua belah pihak mengambil keuntungan dari transaksi dengan merugikan negara.
Ÿ         Investive corruption
Yakni investasi yang belum memiliki kepastian keuntungannya.
Ÿ         Neposistive corruption
Yakni pemberian pekerjaan pada keluarga sehingga mengurang efektifitas kontrol.
Ÿ         Defensive corruption
Yakni pihak korban memberikan sesuatu kepada pihak lain untuk mempertahankan diri dan prilaku pemberikan tersebut merugikan negara.
Ÿ         Autogenic  corruption
Yakni korupsi yang dilakukan seseorang dan tidak melibatkan orang lain yang dapat menguntungkan dirinya.
Ÿ         Supportive corruption
Yakni korupsi untuk melindungi korupsi yang lain yang telah dilakukannya.
Terdapat 8 aspek mekanisme pengelolaan negara yang harus dilakukan secara trasparan, yaitu:
Ÿ         Penetapan posisi dan jabatan
Ÿ         Kekayaan pejabat publik
Ÿ         Pemberian penghargaan
Ÿ         Penetapan kebijakan
Ÿ         Kesehatan
Ÿ         Moralitas pejabat
Ÿ         Keamanan dan ketertiban
Ÿ         Kebijakan strategis
d. Rensponsif  
Pemerintah harus memahami kebutuhan masyarakat, tidak menunggu mereka menunggu keinginannya tetapi secara proaktif mempelajari dan menganalisa kebutuhan masyarakat untuk kemudian melahirkan berbagai kebijakan strategis guna memenuhi kepentingan umum.
Sesuai asas rensponsif, setiap unsur pemerintah harus memiliki 2 etika yaitu:
Ÿ         Etika individual
Yakni kualivikasi etika individual menurut pelaksanaan birokrasi pemerintah agar memiliki kriteria kapabilitas dan loyalitas profesional.
Ÿ         Etika sosial
Yakni menurut pelaksanaan birokrasi pemerintah agar memiliki sensitifitas terhadap berbagai kebutuhan publik.
Pemerintah bisa dikatakan baik jika telah melahirkan kebijakan yang beerdampak baik kepada sebagian negaranya. Sebaliknya Pemerintah bisa dikatakan buruk jika membuat sebagian warganya hidup tidak selayaknya dan kesejahteraan hanya dinikmati oleh elit birokrasi. Terkait asas rensponsif adalah pemerintah harus terus merumuskan kebijaka-kebijakan pembangunan terhadap semua kelompok sosial sesuai dengan karakteristik budayanya. Hal ini karena masih sering dijumpai masyarakat yang hidup dlam kemiskinan dan terbelakang dari segi pendidikan namun mereka menikmatinya. Hal ini bukan disebabkan karena tidak ada program yang dilakukan pemerintah  tetapi secara kultural mereka menolak terhadap program-program pembangunan.
e. Konsensus
Bahwa keputusan apapun harus dilakukan melalui proses musyawarah. Paradikma ini perlu dikembangkan dalam pelaksanaan pemerintah karena urusan yang mereka kelola adalah persoalan public yang harus dipertanggungjawabkan kepada rakyat. Untuk meningkatkan dinamika dan menjaga akuntanbilitas dari proses pengelolaan tugas-tugas pemerintah dalam pengambilan berbagai kebijakan, pemerintah harus mengembankan kebijakan sikap yaitu:
Ÿ         Optimistik
Yakni sikap yang memperlihatkan bahwa setiap persoalan dapat diselesaikan dengan baik dan benar.
Ÿ         Keberanian
Yakni keberanian dalam mengambil keputusan dengan penuh integritas dan kejujuran sesuai dengan prosedur yang benar serta tidak takut dengan intimadi penguasa atau organisasi tertentu.
Ÿ         Keadilan yang berwatak kemurahan hati
Yakni kemampuan untuk menyeimbangkan komitmen atas orang atau kelompok dengan etik.
f. Kesetaraan
Yakni kesamaan dalam perlakuan dan pelayanan karena kenyataan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang majmuk baik etnis, agama dan budaya.
g. Efektifitas dan Efisiensi
Kriteria efektifitas biasanya diukur dengan produk yang dapat menjangkau sebesar-besar kepentingan masyarakat. Sedangkan efesiensinya diukur dengan rasinalitas biaya pembangunan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Semakin kecil biaya yang terpakai untuk kepentingan terbesar maka termasuk dalam kategori pemerintahan efesien.
 h. Akutanbilitas 
Akutanbilitas adalah pertanggung jawaban pejabat publik terhadap masyarakat yang memberinya kewenangan untuk mengurusi kepentingan mereka. Pengembangan akutanbilitas bertujuan agar para pejabat yang diberi kewenangan mengelola urusan publik selalu terkontrol dan tidak memiliki peluang melakukan penyimpangan.
Secara teoritik akutanbilitas menyangkut 2 dimensi yaitu akutanbilitas vertikal dan akutanbilitas horisontal. Akutanbilitas vertikal menyangkut hubungan antara pemegang kekuasaan dengan rakyatnya. Pemegang kekuasaan dalam struktur kenegaraan harus menjelaskan kepada masyarakat apa yang telah dilakukan, sedang dan akan yang dilakukan dimasa mendatang. Akutanbilitas vertikal memiliki pengertian bahwa setiap pejabat harus mempertanggungjawabkan kebijakan dan pelaksanaan tugas-tugasnya kepada atasan yang lebih tinggi. Seperti bupati mempertanggungjawabkan tugasnya kepada gubernur.
Sedangkan akutanbilitas horisontal adalah pertanggungjawaban pemegang jawaban publik kepada lembaga yang setara, seperti gubernur dengan DPRD I, bupati dengan DPRD II.
i. Visi strategis
Visi strategis  adalah pandangan strategis untuk menghadapi masa yang akan datang karena perubahan dunia dengan kemajuan tegnoliginya begitu cepat. Seseorang yang menempati jabatan publik harus mempunyai kemampuan menganalisa persoalan dan tantangan yang akan dihadapi oleh lembaga yang dipimpinnya.
2.3. PENGERTIAN KORUPSI
Korupsi adalah tingkah laku individu yang menggunakan wewenang mengambil keuntungan pribadi dengan merugikan kepentingan umum atau negara. Menurut perspektif hukum, definisi korupsi secara gamblang telah dijelaskan dalam 13
buah Pasal dalam UU No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU No. 20 Tahun
2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berdasarkan pasal-pasal
tersebut, korupsi dirumuskan kedalam 30 bentuk/jenis tindak pidana korupsi. Pasalpasal
tersebut menerangkan secara terperinci mengenai perbuatan yang bisa
dikenakan sanksi pidana karena korupsi. Ketigapuluh bentuk/jenis tindak pidana
korupsi tersebut pada dasarnya dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1. Kerugian keuangan negara
2. Suap-menyuap
3. Penggelapan dalam jabatan
4. Pemerasan
5. Perbuatan curang
6. Benturan kepentingan dalam pengadaan
7. Gratifikasi
Selain bentuk/jenis tindak pidana korupsi yang sudah dijelaskan diatas, masih ada
tindak pidana lain yang yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi yang tertuang
pada UU No.31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001. Jenis tindak pidana yang
berkaitan dengan tindak pidana korupsi itu adalah:
1. Merintangi proses pemeriksaan perkara korupsi
2. Tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar
3. Bank yang tidak memberikan keterangan rekening tersangka
4. Saksi atau ahli yang tidak memberi keterangan atau memberi keterangan palsu
5. Orang yang memegang rahasia jabatan tidak memberikan keterangan atau
memberikan keterangan palsu
6. Saksi yang membuka identitas pelapor
a.      Asal usul korupsi di negara berkembang
Sesungguhnya sejarah perkembangan korupsi beserta upaya pemberatasannya, terutama dalam skala mega, sudah berlangsung sejak tengah dasawarsa 1950-an. Dimulai ketika terjadi abuse of power oleh menteri ekonomi kala itu, Iskak Tjokroadisuryo, pada Kabinet Ali Sastroamidjojo I. Korupsi berupa pemberian lisensi impor dari Politik Benteng dengan tak memberikannya kepada pengusaha pribumi yang kompeten dan diberikan kepada konco-konconya. Lisensi-lisensi tersebut akhirnya dijual kepada pengusaha keturunan Cina, sehingga dikenal istilah ''pengusaha Ali-Baba''.
PM Burhanuddin Harahap yang bekerja sama dengan TNI AD mengambil kebijakan antikorupsi yang efektif, yakni meluruskan pelaksanaan Politik Benteng. Karena kabinet ini umurnya pendek, upaya penegakan pemerintahan bersih tenggelam dengan suasana konflik politik antarpartai dalam Konstituante yang akhirnya Presiden Soekarno membubarkan Konstituante itu pada 5 juli 1959. Pada saat yang hampir sama, Soekarno melakukan nasionalisasi perusahaan asing. Karena ketidaksiapan dalam mengisi pengganti manajemen dari asing ke tangan nasional, maka dari sini pula sejarah bancakan perusahaan negara (belakangan dikenal BUMN), banyak dilakukan pihak-pihak partai.
Kedahsyatan korupsi mengalami momentum pada pemerintahan lebih 30 tahun Orde Baru. Di mulai korupsi skala mega yang dialami Pertamina (1975) dengan kerugian diperkirakan sekitar 12,5 miliar dolar AS tanpa ada tindakan hukum kepada pihak-pihak yang terlibat. Kemudian dengan mengalirnya dana utang luar negeri rata-rata 5 miliar dolar AS per tahun (saat lengser Pak Harto stok utang sekitar 70 miliar dolar AS), investasi langsung perusahaan asing, eksploitasi sumber daya alam (terutama migas dan hutan) yang menjadi sumber dana domestik yang kolosal, maka pertumbuhan dan perkembangbiakan jenis korupsi dari yang tradisional (upeti, sogok, perkoncoan, premanisme, dll) maupun bentuk baru (kolusi birokrat-pengusaha, kolusi bankir-pengusaha, mafia peradilan, penggelapan pajak, komersialisasi jabatan, kick-back dan mark-up proyek-proyek, rekayasa finansial, monopoli-oligopoli serta monopsoni-oligopsoni komoditas strategis, dst).
Kesemua itu menjadikan potensi pertumbuhan ekonomi yang bisa mencapai 12 persen menjadi hanya 7 persen per tahun. Perkiraan kebocoran anggaran bisa mencapai 30 persen hingga lebih dari 50 persen. Pada saat krisis tahun 1977 terjadi capital flight. Simpanan orang Indonesia di luar negeri akibat pelbagai kebocoran alias korupsi tersebut menurut Pusat Data Bisnis Indonesia (PDBI) sekitar 85 miliar dolaar AS (atau sekitar Rp 750 triliun). Upaya pembentasan korupsi kala Orba sejak awal sudah ada. Mulai dengan adanya Komisi 4 dengan penasihatnya mantan Wapres Bung Hatta. Namun rekomendasinyapun tak digubris. Kemudian di luar Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang telah tercantum dalam UUD 45, pemerintah Soeharto membentuk Inspektorat Jenderal di tiap lembaga negara dan Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) sebagai kontrol yang dikendalikan langsung presiden.
Namun efektivitasnya bukan hanya diragukan bahkan menjadi sumber kobocoran baru dengan terjadinya pengaturan laporan keuangan dan pelbagai bentuk KKN. Akhirnya BPK pun menjadi mandul dan malahan menjadi pengganda kebocoran. Wapres yang fokus kepada pengawasan serta juga ada menko dan menneg PAN yang juga bertugas untuk pengawasan pun hampir tak pernah terdengar kiprahnya. Barangkali semua itu karena sifat pemerintahan dan sistem politik otoritarian dan sentralistik sehingga sistem check and balance dari DPR maupun yudikatif menjadi lumpuh. Pers pun dibungkam bahkan para aktivis kritis pun banyak ditangkap.
Reformasi yang dilakukan sejak 1998 hingga sekarang juga baru menyentuh secara politik. Dan korupsi pun makin mengalami ramifikasi baik vertikal (menyebar ke daerah) maupun horizontal (bukan hanya di pemerintah dan lembaga yudikatif tapi juga ke DPR) sehingga popular dengan adanya ''korupsi berjamaah''. Modus operandinya di samping yang tradisional dan modern tak pernah hilang bahkan tipikal pascamodern pun bermunculan seperti lenyapnya keuangan negara ratusan triliun karena gelontoran dana rekap perbankan. Kemudian pembobolan bank (skala triliunan antara lain BNI, Mandiri), illegal logging, illegal fishing, penyelundupan komoditas strategis (migas, gula, beras, dst). Yang lebih baru adalah politik uang dalam sistem politik di pusat (KPU, pemilihan ketua partai, promosi jabatan di pemerintahan dan BUMN, dst), di daerah (pilkada oleh DPRD maupun pilkada langsung), dan masih banyak lagi. Upaya pemberantasan korupsi di masa reformasi ini dimulai momentum dengan adanya kebebasan pers dan kebebesan politik umumnya.
Dalam pelembagaannya dimulai dengan pembentukan Komisi Pemeriksaan Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN) yang mulai terjadi sedikit gereget dengan terungkapnya daftar kekayaan berbagai pejabat tinggi yang abnormal. Misalnya terungkapnya misteri kekayaan Jaksa Agung MA Rahman dan pejabat lainnya meski satu pun dari temuan itu tak ada tindak lanjut secara hukum. Malahan oleh pemerintahan Megawati KPKPN ini pun ''dibubarkan'' dan dintegrasikan kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK). Pada pemerintahan Megawati keberadaan KPTPK ini pun sulit berperan, karena konon sulitnya pemberian izin bagi pejabat untuk diperiksa.
Baru sejak pemerintahan SBY sedikit terkuak harapan dengan lebih lancarnya izin tersebut dengan mulai adanya pemeriksaan (misal kasus KPU dan Bank Mandiri) bahkan juga mulai ada yang divonis (kasus pimpinan DPRD Sumbar dan pejabat daerah lainnya, kasus Gubernur Abdullah Puteh dan Kharis Walid). Patut dicatat dengan sedikit ada harapan ini, tak luput dari peran BPK sejak dipimpin Billy Joedono dan diteruskan oleh Anwar Nasution yang menguak data-data penyelewengan skala mega di pelbagai lembaga strategis. Namun, kesan masih memburu kasus sensitif secara politis dalam pemberantasan korupsi ini masih belum pupus, karena untuk kasus lebih kolosal semisal kasus BLBI yang nilainya puluhan triliun masih belum tersentuh sama sekali.
Dengan perkembangan tersebut, Indonesia menurut berbagai lembaga pemeringkat internasional sejak awal tahun 90-an hingga sekarang selalu masuk kategori negara terkorup. Gejala korupsi ini seperti belum terbersit harapan untuk pemberantasannya. Hal ini karena korupsi telah kadung menjadi kebudayaan (Damanhuri, 2007 dalam elbaruqy, 2010).
Hal-hal yang menyebabkan terjadinya korupsi antara lain:
Ø  Kemiskinan
Korupsi dengan latar belakang kemiskinan berasal dari kebutuhan.
Ø  Kekuasaan
Kekuasaan sering membuat orang bertindak sewenang-wenang dan mengambil keuntungan dengan kekuasaan yang dimilikinya.
Ø  Budaya
Dari hasil penelitian Prof. Toshiko Kinoshita, Guru Besar Universitas Waseda Jepang mengatakan bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat dengan sistem keluarga besar, yaitu masyarakat yang mempunyai nilai bahwa kesuksesan seorang anggota keluarga harus pula dinikmati oleh seluruh anggota keluarga besar itu.
Ø  Ketidaktahuan
Ini adalah alasan yang mengada-ada karena dana yang diberikan sering tidak diketahui peruntukannya. Karena tidak tahu dan tidak perlu mencari tahu maka ketika ada masalah dana tersebut dijadikan sebagai korupsi.
Ø  Rendahnya kualitas moral masyarakat
Ø  Lemahnya kelembagaan politik suatu negara
Kelembagaan yang pertama adalah sistem hukum dan penerapannya. Jika kasus korupsi tidak ditangani sungguh-sungguh maka akan mengembangkan nilai dimata publik bahwa korusi ”aman” dilakukan asal membayar ”harga tertentu”.
Ø  Menjadi penyakit bersama.
Sebagai sebuah penyakit maka dengan cepat menular dari kawasan satu kekawasan lain.
b.      Dampak korupsi
Beberapa hal yang diakibatkan dari korupsi antara lain menimbulkan:
Ø  Kegagalan mencapai tujuan yang ditetapkan pemerintah.
Ø  Menular kesektor swasta dalam bentuk usaha mengejar laba dengan cepat dan berlebihan, menyisihkan investor baru dan mengurangi pertumbuhan sektor swasta.
Ø  Kenaikan harga administrasi karena pembayar pajak membayar beberapa kalilipat untuk pelayanan yang sama.
Ø  Mengurangi jumlah dana yang disediakan untuk publik.
Ø  Merusak moral aparat pemerintah.
Ø  Menurunkan rasa hormat kepada kekuasaan yang akhirnya menurunkan legitimasi pemerintah.
Ø  Pribadi yang hanya memikirkan diri sendiri, tidak mau berkorban untuk kemakmuran bersama di masa mendatang.
2.4. HUBUNGAN ANTARA CLEAN AND GOOD GOVERNANCE DENGAN GERAKAN ANTI KORUPSI
Clean and good governance meniscayakan adanya transparansi disegala bidang. Hal ini untuk mengikis budaya korupsi yang mengakibatkan kebocoran anggaran dalam penggunaan uang negara untuk kepentingan individu atau golongan bukan untuk kesejahteraan rakyat.
Ada beberapa grand design dalam menciptakan situasi perang terhadap korupsi:
Pertama, apapun kebijakan antikorupsi yang diambil, haruslah disadari bahwa kebijakan dan langkah-langkah tersebut hendaknya ditempatkan sebagai ''totok nadi'' yang strategis, berkelanjutan, dan paling bertanggung jawab di antara semua langkah total football, estafet dari semua pihak yang peduli terhadap pemberantasan korupsi, baik dari kaum agamawan, akademisi, parlemen, LSM, pers, dunia internasional, dan seterusnya.
Kedua, menghindari politik belah bambu yang menggunakan KPTPK, Kejaksaan, dan Polri untuk memburu pihak-pihak yang secara politis harus dikalahkan dan membiarkan pihak-pihak yang dianggap kawan politik.
Ketiga, keseriusan untuk mencari solusi terbebasnya TNI dan Polri dari dunia politik dan bisnis secara tuntas.
Keempat, euforia elite politik di pusat dan daerah dalam menikmati kebebasan politik, kebebasan berpendapat, dan kebebasan pers yang seharusnya semakin mendewasakan kehidupan berdemokrasi yang ujung-ujungnya juga mampu membangkitkan kembali kehidupan ekonomi dengan ukuran rakyat yang semakin sejahtera (Damanhuri, 2007 dalam elbaruqy, 2010).

2.5 HUBUNGAN ANTARA GOOD AND CLEAN GOVERNANCE DENGAN DENGAN KINERJA BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK
Dalam rangka menyelamatkan keuangan negara, banyak upaya pemerintah yang sudah dilaksanakan diantaranya Undang-Undang Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan diperkuat dengan Undang-Undang Nomor 15 tahun 2004 tentang pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara. Kemudian dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah semakin jelas keseriusan pemerintah dalam hal pembenahan sistem pengelolaan keuangan negara, mengutip pendapat pakar bahwa selama ini yang diterapkan nampaknya masih lemah dan cenderung membuka peluang yang sangat besar bagi terjadinya penyimpangan dalam pelaksanaan anggaran.
Tentu bukan soal yang mudah dalam mempersiapkan personil yang dapat melaksanakan tugas tersebut, perlu adanya kesepahaman dalam mencermati secara komprehensif apa yang tertuang dalam PP tersebut (Rahayu, 2009 dalam elbaruqy, 2010). Dengan tiga pilar pelayanan public menjadi titik setrategis untuk memulai pengembangan dan penerapan Clean and good governance di Indonesia. Tiga pilar tersebut yakni:
Ÿ         Pelayanan publik selama ini menjadi tempat dimana negara yang diwakili pemerintah berinteraksi dengan lembaga non pemerintah.
Ÿ         Pelayanan publik tempat dimana berbagai aspek Clean and good governance dapat diartikulasikan lebih mudah.
Ÿ         Pelayanan publik melibatkan semua unsur yaitu pemerintah, masyarakat dan mekanisme pasar.
BAB III
ANALISIS KAJIAN
3.1 Analisis Kajian
  Pemerintahan yang baik dan bersih atau good and clean goveranace merupakan prinsip pemerintahan yang didambakan dan diharapkan oleh setiap rakyat di seluruh penjuru dunia. Untuk merealisasikan hal itu, maka ada 9 aspek fundamental yang harus dijalankan, antara lain: Partisipasi, Penegakkan hukum, Transparansi, Rensponsif, Orientasi kesepakatan, Keadilan, Efektifitas dan efesiensi, Akutanbilitas, Visi strategis.
Idealnya aspek-aspek tersebut telah ada dan tercermin di dalam diri pemerintah yang berkuasa, begitu juga dengan pemerintahan di Indonesia. Akan tetapi sampai saat ini masih aspek-aspek tersebut masih belum dapat sepenuhnya dipenuhi dan dijalankan oleh pemerintahan berkuasa saat ini. Bahkan saat ini masih banyak pengingkaran-pengingkaran aspek-aspek fundamental tersebut, salah satunya adalah korupsi.
Di Indonesia korupsi seolah-olah telah menjadi kebudayaan yang cenderung dilestarikan oleh penguasanya dan seakan-akan dibiarkan oleh masyarakatnya, meskipun kini kesadaran akan bahaya laten korupsi sudah mulai dapat dirasakan. Lembaga yang khusus menangani masalah korupsipun telah didirikan. Akan tetapi, pada praktiknya tingkat korupsi di Indonesia masih sangat tinggi. Bahkan di tingkat ASEAN Indonesia memegang predikat negara terkorup.
Predikat terkorup merupakan suatu predikat yang sangat memalukan bagi seluruh rakyat indonesia. Akan tetapi sampai detik ini masih belum ditemukan suatu regulasi yang benar-benar dapat mengatasi masalah korupsi yang sudah menjalar di seluruh bidang tanpa terkecuali.
Oleh karena itulah, dibutuhkan sosok pemimpin-pemimpin baru yang mampu membawa perubahan yang signifikan dalam penciptaan atmosfir pemerintahan yang mencerminkan prinsip good & clean governance. Selain itu, konsep pemerintah-penguasa haruslah di hapuskan dan digantikan dengan konsep pemerintah-pelayan, sehingga pemerintah tak lagi memandang sebelah mata terhadap rakyatnya.
Menurut Kaharstia (2011), Ciri pemerintahan masa depan, memiliki akuntabilitas dan transaparansi dalam pemecehan berbagai permasalahan pemerintahan yang semakin kompleks dan dinamis sebagai akibat perkembangan yang terjadi dewasa ini. Olehnya, menyikapi tuntutan dan kemajuan serta perkembangan yang terjadi dewasa ini, maka pembangunan sector public, diarahkan untuk mewujudkan birokrasi pemerintahan yang mampu mengelola pemerintahan Negara dan pembangunan bangsa secara efisien, efektif dan akuntabel.
Di sisi lain, mahasiswa sebagai agent of chage juga tak boleh berdiam diri dan berpangku tangan menunggu hadirnya pemimpin-pemimpin baru yang mampu menghadirkan perubahan tersebut, tetapi mahasiswa harus memulai membuat perubahan-perubahan mulai dari dirinya sendiri dan selanjutnya mengajarkan, menularkan dan menyebarkan perubahan-perubahan yang menuju ke arah kebaikan.
Selain itu, dibutuhkan juga koordinasi dan kerja sama seluruh lapisan masyarakat untuk menciptakan dan mengkondisikan terciptanya sistem pemerintahan yang mencerminkan prinsip good & clean governance. Selain menkondisikan, kita juga harus selalu membuka mata dan bukan menutup mata untuk membiarkan atau bahkan memberikan kesempatan bagi oknum-oknum tertentu yang ingin mengambil keuntungan pribadi dan merugikan banyak orang.
Ketika semua lapisan masyarakat telah mengetahui tugas dan haknya masing-masing, maka penyimpangan-penyimpangan yang kini banyak terjadi akan dapat diminimalisir atau bahakan di hilangkan dari permukaan bumi pertiwi, yaitu Indonesia tercinta. Negeri yang sebenarnya kaya, akan tetapi dimiskinkan oleh oknum-oknum tertentu yang tidak bertanggung jawab.

BAB IV
 PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Dari penjabaran pembahasan diatas, kami penulis menyimpulkan beberapa poin sebagai berikut:
  1. Good and Clean Governance sebagai wacana bagi pemerintah untuk mewujudkan kepemerintahan yang besih, profesional, akuntanbel dalam segala bidang, serta bebas dari mala praktek yang merugikan negara.
  2. Dengan adanya Good and Clean Governance pemerintah bisa lebih transparan dalam pelayanan publik, dan bisa meningkatkan kinerja birokasi.
  3. Dengan adanya Good and Clean Governance pemerintah bisa mempunyai monitoring yang handal dari kalangan swasta atau masyarakat pada umumnya.
  4. Good and Clean Governance adalah landasan untuk menciptakan negara yang kuat, kokoh, tangguh dalam segala aspek.
3.2. Saran
  1. Good and Clean Governance harus dijalankan semaksimal mungkin oleh kalangan birokrasi atau kalangan pemegang kekuasaan dan juga harus didukung oleh masyarakat. Kalau semua sudah maksimal maka pemerintah akan selalu memegang teguh peraturannya yakni (bebas KKN).
  2. Pemerintah harus transparan dalam hal dalam pelayanan publik, supaya negara terbebas dari oknum-oknum yang merugikan negara.
  3. Supaya pemerintah menggalakkan kepada semua kalangan kepemerintahan mulai dari RT sampai ke Pejabat yang paling tinggi.
  4. Supaya pemerintah mengadakan semacam seminar-seminar wawasan kebangsaan kepada semua masyarakat umumnya, khususnya kepada para Pejabat Negara.

DAFTAR PUSTAKA
Elbaruqy. 2010. Good and clean governance. (online).(http://elbaruqy.blogspot.com/2010/04/        good-and-clean-governance.htmlvvv).  Diakses pada 24 Oktober 2011
Kumorotomo, Wahyudi. 2010. Reformasi Aparatur Negara Ditinjau Kembali. Gava Media :         Yogyakarta.
Kaharstia. 2011. Mewujudkan Good Governance. (online). (http://kaharstia.dagdigdug.com          /2011/01/29/11/).  Diakses pada 24 Oktober 2011
Rakhmat, 2009, Teori Administrasi dan Manajemen Publik, Pustaka Arif : Tanggerang      Banten.
Rosyada, et. Al. 2007, Dede. Pendidikan Kewargaan (Civic Education): Tata kelola Good &        Clean Governance, ICC UIN Malang: Jakarta 
Said, M. Mas’ud. 2010. Birokrasi Di Negara Birokratis. UMMPRESS : Malang Print Friendly and PDF

0 komentar:

Posting Komentar